Sunday, June 29, 2014

帮助穷人还是富人?

这次为大家带来了好消息!英国对外援助终于达到了0.7%大关!毫无疑问,正如您将了解到的那样,长期以来,联合国开发计划署都在鼓励富裕的国家拿出本国GDP0.7%,用作对外援助,帮助较贫困的国家克服不足,改善人民的生活质量。直到最近,还只有斯堪纳维亚国家和为数不多的其他国家成功实现了这个相当小的份额,但现在,英国也成为了其中的一员,可以在国际社会上昂首挺胸了(虽然在英国国内,由于担心惹恼认为不应该向英国以外的任何人提供资金的仇外人士,在其本国并未如此招摇)。


不幸的是,在我们开始为此大肆庆祝之前,还存在一个问题——这实际上是一个相当重要的问题,大部分的援助款都去了哪里。我们愿意想象人们会将其直接用于疫苗接种、修建学校、提供紧急医疗物资等等。但实际上,援助款大部分都会被用于旨在盈利的私人小区和项目(为当地资本家服务,同时,在许多情况下,还为英国企业所用),而非创造各种社会效益。

大部分的援助款都提供给了金融企业,然后,由他们做出对所有人都有好处的投资。这在一定程度上反映出了政府没有能力处理事务,我们只有依靠私营部门寻求最大利益。当然,这种理念完全忽略了私人部门对金钱无法满足的贪念,因此,他们会将大部分援助款投入肯定会产生盈利的项目——私人公寓楼、酒店、购物中心等等。他们所持的观点是,通过投资产生的利润,让部分当地企业富起来,最终这些资金将通涓滴效应惠及大众。他们似乎忘记了这在任何地方都未曾成功过;也从未考虑过只需将资金直接用于穷人所需的观点。

其他存在争议的方案还涉及到了农业。对部分非洲国家来说,要获得农业援助,政府必须接受严格的要求——特别是在任何情况下都不能限制出口。这意味着即使饥荒再次肆虐东非,面向国外市场的食品出口将仍然优先于当地人民的粮食供给。咖啡和巧克力等经济作物也能增加获得援助款的可能性,尽管对当地民众来说,它们几乎毫无用处;同样还有连接港口的运输工具和基础设施,它们让这些作物能快速高效地进入国际市场。这些方案在提供援助款的同时,也通过受益国获得了与援助款相当的收益,但是,许多较为贫穷的国家感觉自己别无选择,只能接受这些要求,以便获得足够的资金来为自己的人民做些事情。

实质上,这些方案证明了我们早就清楚的道理——援助通常是汲取穷国资源,维持全球经济结构性不平等(正是这种不平等让他们处于贫穷的境地)的方式,而不是要真正帮助这些地球上的可怜人。它让政府看来很棒(至少对一些人来说),同时又无需做出真正不受欢迎或会损害本国企业的需要和欲望的事情。因此,在我们制定出旨在帮助穷人而不是企业的更公正的援助新政策之前,终于实现了微不足道的0.7%这一目标,可能也并不是非常值得庆祝的事。


从英文版翻而来。原文于 611,  http://anashell.blogspot.com/2014/06/aid-for-poor-or-for-rich.html

英国对外援助, GDP, 修建学校, 提供紧急医疗物资, Ana Shell, 私人小区和项目 ]

Tuesday, June 24, 2014

Udara Adalah Hak Istimewa Kelompok Tertentu di A.S.

Sebuah penelitian di A.S. baru-baru ini memperlihatkan bahwa warga kulit putih menikmati kualitas udara yang lebih baik daripada warga kulit hitam. Tulisan ini terdengar seperti lelucon, hampir seperti berita utama yang Anda baca di The Union. Namun, sebenarnya hal ini adalah suatu fenomena yang terjadi di wilayah A.S. yang populasi mayoritas kulit putih secara konsisten menikmati kualitas udara yang lebih baik daripada wilayah dengan populasi mayoritas kulit hitam. Mengingat efek yang bisa ditimbulkan oleh kualitas udara pada kehidupan sehari-hari dan harapan hidup kita, penemuan ini memiliki banyak implikasi.



Memang, temuan ini telah dicap rasis dan hal itu memang benar hingga taraf tertentu. Namun, dalam temuan tadi menyangkut sebuah elemen dalam kehidupan kita yang tidak kerap dibahas oleh media oleh media, yaitu kelas dalam masyarakat. Hasil ini dapat ditulis secara berbeda jika penekanannya diubah. Kita dapat berkata bahwa orang-orang miskin biasanya menikmati udara yang lebih buruk dari pada orang-orang kaya, sayangnya lebih banyak orang kulit hitam yang miskin dibandingkan dengan orang kulit putih.

Dari situ kita harus menggali lebih dalam alasan-alasan banyak orang kulit hitam dalam statistik kemiskinan Amerika. Untuk memulainya mungkin kita bisa bertanya mengapa orang-orang miskin dengan warna kulit apapun menikmati kualitas udara yang lebih buruk dibandingkan dengan orang-orang kaya? Alasannya adalah tata ruang, sebuah konsep yang lebih dipahami oleh akademisi di bidang geografi dibandingkan dengan jurnalis surat kabar. Orang-orang kaya Amerika selalu dipisahkan secara spasial dari orang-orang miskin. Jika kita melihat peta banyak kota besar Amerika, kita bisa melihat wilayah tempat tinggal orang-orang kaya dan wilayah tempat tinggal orang-orang miskin. Jika wilayah-wilayah tadi dikunjungi, kita akan melihat dengan jelas perbedaan pada pembangunan lingkungan di sana dan kualitas udaranya.

Wilayah tempat tinggal orang-orang miskin memiliki pajak pendapatan yang lebih rendah sehingga sulit untuk membiayai pelayanan dan fasilitas yang akan membantu mengatasi polusi udara seperti taman kota dan rumah sakit. Tempat-tempat ini berada pada prioritas terbawah dalam pertemuan-pertemuan perencanaan kota dan hal itu berarti, kebanyakan jalan bebas hambatan di A.S. akan melewati kota-kota miskin ini. Karena tingkat pengangguran dan marginalisasi yang tinggi, para warga kota-kota miskin tak punya banyak pilihan selain menerima pekerjaan dari industri yang mencemari lingkungan. dibandingkan dengan mereka yang kaya yang memiliki pilihan dan kuasa untuk menolaknya. Itu sebabnya, kebanyakan pabrik, depot-depot produksi, dan tempat pembuangan sampah di Amerika dapat ditemukan di wilayah-wilayah miskin.

Saat siklus seperti ini dimulai, maka akan sulit untuk menghentikannya. Harga-harga perumahan turun karena kualitas lingkungan yang buruk, dan saat harga-harga naik di wilayah lain kota, maka lebih banyak orang miskin dan pengangguran terpaksa pindah ke wilayah lingkungan yang buruk. Belum lagi kenyataan bahwa kebanyakan dari orang-orang miskin ini berkulit hitam merupakan skandal tambahan. Semuanya ini meperlihatkan bahwa meski mimpi pasar bebas Amerika berhasil dinikmati para pemenang, namun mimpi tadi mengasilkan lebih banyak pihak yang kalah dengan banyak sekali efek negative.

Sepertinya, keadaan harus terus memburuk sebelum timbul perbaikan. Tingkat perbedaan  di  A.S. telah meningkat selama beberapa waktu setelah sebelumnya diatur ulang oleh kemakmuran abad ke-20. Kini A.S. telah didominasi lagi oleh kuasa korporat dan kepentingan orang kaya seperti di abad ke-19. Isu kualitas udara dan pemisahan tata ruang hanyalah salah satu gejalanya. Hal ini hendaknya menjadi peringatan bagi kita untuk segera membuat perubahan jika kita ingin kembali menyamakan hubungan antara pemenang dan yang kalah dalam dunia kapitalis Amerika.



Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 20.05.2014: http://anashell.blogspot.com/2014/05/in-us-class-privilege-is-in-air.html

[ warga kulit putih, lebih baik daripada, orang kulit hitam kemiskinan Amerika, orang-orang miskin, orang-orang kaya Amerika, pembangunan lingkungan, kualitas udaranya, Ana Shell ]

Monday, June 23, 2014

Energy dependency is a problem for us all, not just Ukraine

The news from Ukraine these days just seems to get worse and worse for the country. Military planes are being shot from the sky by rebels, the eastern half of the country is still trying to secede (despite Russia not being quite so vocally supportive anymore), and the Crimean region seems to have been irreversibly lost to Putin at this point. Now, to top it all off, the Russian energy company Gazprom has turned off Ukraine’s gas supply, claiming that the country has not yet paid what it owes. The only vaguely positive spin on this is that at least it didn’t happen in the middle of the winter.
Now of course this decision by Gazprom is political rather than financial. There has just been a new Ukrainian president elected, in an election that Russia essentially considers void because it doesn’t accept the recent revolution that kicked Yanukovych out of the country. And Russia has a desire to keep flexing its newfound muscle on the international stage, showing the world that it is once again a power that should not be messed with. After all, if countries were cut off for not immediately paying their debts, almost nowhere in the world would have any energy right now.
And that’s part of the problem. As we’ve discussed in previous blogs, our global energy system is no longer working well. It’s based around widespread use of fossil fuels that are increasingly scarce and increasingly controlled by only a few countries around the world. If access to those fuels dries up, countries suddenly find themselves in a whole lot of trouble, often unable to provide even basic services to their people.
It is this energy system that is allowing Russia to bully Ukraine right now. It is also this energy system that led to the US decision to invade Iraq, in an attempt to rewrite the oil-rich Middle East region in their own image, and to gain control of enough fuel supplies to keep their unsustainable economy running for a long time. It is this energy system that allows the OPEC cartel to control prices for ordinary consumers around the world. And it is this energy system that causes us to continually dig for more and more fossil fuels in less and less conventional places – under the Arctic, in the tar sands, in Alaska, and so on.
Almost all countries in the world are far too dependent on oil and gas for their energy needs, and this leaves them far too dependent on one or two key suppliers. This fact is starkly illustrated by the fact that the Gazprom shutdown of Ukraine’s energy supply is worrying the EU, who are concerned that even their superpower bloc may not get access to enough fuel for this year unless the flow from Russia gets turned back on promptly. Instead of self-sufficiency and sustainability, which are the goals that all countries should be striving after, we have dependence on dirty fuels.
Many people make a lot of money from this system; the people who suffer the most from it are those who are already poor. They pay high prices at the gas pumps, or to heat their homes in the west. And in the developing world they suffer from the early effects of climate change, killing their crops, flooding their villages, destroying their livelihoods.
What the Ukraine incident shows is the need for greater self-sufficiency in energy sources for all countries, and the need to focus on alternative energy technologies. Rather than being reliant on Russian gas, Ukraine – and the rest of us – should be focusing on cleaner, greener, renewable technologies that are much more easily accessible throughout the world. In designing a new world energy system over the next few decades, these need to be priorities for the international community.
[ basic services, control prices, Crimean region, dependent on oil and gas, destroying livelihoods, developing world, dirty fuels, early effects of climate change, energy dependency, energy right, energy sources, energy system, flooding villages, fossil fuels, fuel supplies, gas pumps, gas supply, Gazprom, global energy system, international community, invade Iraq, key suppliers, killing crops, military planes, new Ukrainian president, oil-rich Middle East region, on international stage, OPEC cartel, ordinary consumers, recent revolution, renewable technologies, Russian energy company, Russian gas, superpower bloc, Ukraine energy needs, Ukraine incident, Ukraine’s energy supply, unsustainable economy, Yanukovych ]

Tuesday, June 17, 2014

终结反恐战争

极端主义教派博科圣地(Boko Haram)在尼日利亚绑架了200名女学生,这在国际媒体上引起了轩澜大波,一部分是由于这一事件的恶劣性质,一部分也是由于绝对不可能实施涉及人数如此之多的绑架,且无人知晓受害人被带往何处的情况。目前,这一事件的焦点集中在了尼日利亚政府的反应上——一个因无力保护本国公民而臭名昭著的政府,一个更关心继续从西方获得石油收入的政府。正是该国政府在面对奥格尼地区爆发的反对石油抗议时,处死了活动的领袖肯·萨罗-维瓦(Ken Saro-Wiwa),这一举动在随后数年内,在该国糟糕的公关方面产生了引人注目且适得其反的效果。


如今,事实证明,他们无力对付伊斯兰组织——博科圣地,该组织名称大意西方教育即罪恶——因此,他们把女学生当成了目标。尼日利亚政府似乎无力阻止盘踞在该国北部沙漠中的恐怖分子,相反,却开始逮捕在首都阿布贾呼吁采取行动的抗议组织领导者——这个倒霉的政权进行的又一次糟糕的公关。

近年来,伊斯兰教武装分子一直肆虐在撒哈拉地区,博科圣地也是组成这股浪潮的一部分。在2012年,于马里北部发起图阿雷格革命的极端组织身上,我们能看到类似的意识形态,该行动随后在法国部队的帮助下被击退。这似乎给我们提供了另一个暗示,即全球反恐战争经历着惨败,需要寻求新的途径。结果证明,入侵伊斯兰教为主的国家和无人机轰炸对消灭单个恐怖分子可能非常有效,但是,在阻止形成新的恐怖分子方面却收效甚微——如果说有任何效果,似乎也只是鼓励人们拿起武器,反抗西方和由西方撑腰的非洲政府,因为他们将其视为对教友的压迫。

即使在针对恐怖主义的战争之外,以西方为主导的政策也为尼日利亚等国的恐怖主义提供了进一步的动力。石油产业集中了如此多尼日利亚的资源,从中获益的却只是使用这些石油的西方国家和从上到下窃取利益的腐败政客,对长期受苦的尼日利亚人民来说,余下的只是杯水车薪,为其提供急需的服务。这种情况毫无意外地导致了该国大部分地区——特别是拉各斯和阿布贾等资金相对充足以外的地区——对政府失去信心,或者出现更糟的情况,强烈地鄙视政府。如此发展只会鼓励声称遵守宗教法,人于贫困和灾难中的民粹主义宗教运动,正如博科圣地的行动一样。

与其专注于战争和尝试强迫民众接受民主(如强制民主身不存在矛盾的话),我们更需要找到阻止此类极端主义传播的新途径。我们需要国际化的发展政策,给予这些国家真正的帮助,让其摆脱贫困,而不是依靠西方提供的石油资金维持生存。同时,我们需要停止对现行体制的容忍,因其利于西方企业的利益,而对本国的人民进行独裁统治,损害人民的利益。我们只能寄希望于这起可怕的绑架事件,将有助于我们的领导人意识到,在只有暴力应对的情况下,极端主义不会消失,进而推动他们采取这些新的政策。


从英文版翻而来。原文于 515, http://anashell.blogspot.com/2014/05/an-end-to-war-on-terror_15.html

[ 终结反恐战争, 极端主义教派博科圣地, Boko Haram, Ken Saro-Wiwa, 斯兰组织, Ana Shell ]

Sunday, June 15, 2014

Waktunya untuk Mengubah Budaya Minyak Kita

Angka-angka terbaru yang datang dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa kegembiraan akan adanya sumber gas dari batuan serpih (shale) mungkin masih terlalu prematur.   Shale telah dipromosikan sebagai jawaban atas pertanyaan terhadap kemandirian energi AS, dan diklaim bahwa ada 17 miliar barel minyak di bawah tanah Kalifornia sendiri - cukup untuk menjalankan bisnis seperti biasanya untuk jangka waktu lama, dan cukup untuk benar-benar menghancurkan peluang yang mungkin kita miliki agar terhindar dari bencana perubahan iklim.  Ada sedikit masalah lain yaitu untuk mengekstrak gas dari shale memerlukan teknik yang benar-benar merusak, dikenal dengan nama rekah hidrolik (fracking), yang merusak tanah dan pasokan air.



Namun, angka-angka baru ini mengindikasikan bahwa angka-angka tersebut mungkin harus dipotong sampai 96%.  Ya, jumlah sebenarnya kandungan gas di bawah Kalifornia sepertinya hanya merupakan fraksi yang sebelumnya dibayangkan oleh para eksekutif dari industri perminyakan dan penentang perubahan iklim.  Hal ini memperlihatkan optimisme yang kerap muncul bersama dengan penemuan bahan bakar fosil baru, mulai dari pasir tar, minyak Arktik, hingga cadangan gas dari shale.  Setiap kali kita mendengar dari mereka yang percaya bahwa kita telah menyelesaikan masalah Peak Oil, dan akhirnya kita selalu menemukan cara untuk menunda beberapa tahun sambil terus mencemari lingkungan.

Tentu saja, rekah hidrolik (fracking) bukanlah sebuah gagasan yang baik, bahkan jauh sebelum evaluasi ulang terhadap kandungan shale dilakukan.  Sebegitu buruknya kontaminasi yang disebabkan oleh rekah hidrolik untuk gas shale ini dapat mencemari air sehingga orang dapat menyalakan api di air tersebut, seperti dapat kita tonton di film Gasland.  Rekah hidrolik juga telah dituduh sebagai penyebab gempa bumi di wilayah sekitar Blackpool in barat laut Inggris, dan kampanye yang gencar menentang teknik yang merusak ini semakin dikenal dan berlangsung di seluruh Inggris Raya saat ini, seperti yang telah kita bahas di blog ini sebelumnya.  Anda pikir bahwa gabungan fakta-fakta ini, bersama dengan temuan-temuan baru bahwa sebenarnya tidak banyak gas dari shale yang dapat diekstrak, akan mengakhiri kegiatan rekah hidrolik, tetapi hampir dapat dipastikan rekah hidrolik akan tetap dilanjutkan karena budaya kita nampaknya bersikukuh untuk memilih bahan bakar fosil daripada alternatif yang lebih bersih.

Kita perlu untuk mengatasi masalah budaya ini segera.  Mengapa kita harus membedakan bahan bakar fosil ketika bahan bakar jenis ini tersedia untuk kita? Mengapa kita terlihat sulit untuk menerima fakta bahwa sumber daya energi yang tak terhingga ada di sekeliling kita, seperti angin, matahari, dan air yang membuat kita tetap hidup? Mungkin ada pandangan bahwa teknologi alternatif ini cukup 'macho' - menggelikan memang, tetapi sepertinya ada sebuah kekuatan besar yang aneh dari para pembuat keputusan.  Atau mungkin ini hanya sebuah kasus dari kepentingan mengakar dari industri migas yang tidak menginginkan kita berpindah ke teknologi baru - meskipun ini adalah hal yang selalu dilakukan manusia sepanjang sejarah.

Apapun alasannya, angka-angka baru tentang jumlah gas shale seharusnya menjadi bagian dari sentakan budaya yang meluas dan kita harus mulai menjauhi bahan bakar fosil.  Pada akhirnya kita harus memahami, benar-benar memahami, bahwa migas yang tersisa di planet kita sudah tidak cukup untuk tetap mempertahankan gaya hidup kita tanpa batas.  Artinya, kita harus mengubah gaya hidup saat ini dari fokus kita pada konsumsi dan kenyamanan, yang nampaknya tidak mungkin terjadi, atau kita mulai secara serius untuk untuk mengeksplorasi sumber daya-sumber daya energi alternatif daripada membuang-buang uang pada gas shale dan skema lain yang merusak.  Ini juga berarti bahwa kerja sama antarbangsa, yang berarti meyakinkan masyarakat bahwa bahan bakar fosil itu bukan sesuatu yang spesial, dan ini juga berarti keberanian mengambil keputusan.  Namun, semua itu dapat dilakukan, kenyataannya ini harus dilakukan, apabila pilihan lain kita adalah sejumlah kecil gas shale yang berada di lapisan bebatuan di bawah bumi Amerika.


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 2.06.2014: http://anashell.blogspot.com/2014/06/time-to-change-our-oil-culture.html

kemandirian energi AS, rekah hidrolik, tanah dan pasokan air, bakar fosil baru, Peak Oil, mencemari lingkungan, Ana Shell

Wednesday, June 11, 2014

Aid for the poor or for the rich?

Good news for once! British foreign aid has finally reached the 0.7% mark! As you will no doubt know, there has been a longstanding target encouraged by the UN Development Programme to encourage rich countries to give 0.7% of their GDP as foreign aid to help poorer countries overcome their disadvantages and improve the lives of their citizens. Until recently, only the Scandinavian countries and a few others had managed to achieve this fairly small sum, but now Britain can join the club and hold its head up high in the international community (although not so much at home, where this success has been barely mentioned for fear of annoying the xenophobes who believe no money should be given to help anyone outside of the country).
Unfortunately, before we start celebrating too wildly, there is a problem – and it is the rather major one of where most of the money is actually going to. We like to think that aid money goes directly into vaccination campaigns, building schools, providing emergency medical supplies, and so on. In actual fact, a lot of it goes into private developments and projects that aim at generating a profit (for local capitalists and in many cases British corporations as well) rather than achieving many social benefits.
Much of the money is placed into financial corporations, who then choose where to invest it for the good of everyone. This is part of the ideology that the government has no ability to run things competently, and that we should all rely on the private sector to look out for our best interests. Of course, this completely ignores the private sector’s insatiable drive for more and more money, and consequently much of the aid money ends up going into things that will be unambiguously profitable – private apartment buildings, hotels, shopping centres, and so on. The idea is that by making certain local businesses rich on the profits of these investments, the money will eventually ‘trickle down’ to the general population. That this has not worked anywhere in the world seems to be ignored; the idea of simply giving the money directly to the things that poor people need is not entertained.
Other controversial schemes involve agriculture. In some African countries, agricultural aid is only being given if governments agree to strict requirements – in particular, not to restrict exports under any circumstances. This means that even if a famine hits East Africa again, exports of food for foreign markets will still take priority over feeding the local population. Cash crops like coffee and chocolate are also more likely to receive aid money, despite being of almost no use to local people; as are transport and infrastructure links to ports, allowing these crops to get onto the world market quickly and efficiently. These schemes benefit the country providing the aid money as much as the country receiving it, but many poorer governments feel they have no choice but to accept these requirements in order to get enough money to do something for their own people.
Essentially, these schemes prove what we have long known – that aid is often a way to extract resources from poor countries and to prop up the structural inequalities in the global economy that keep them in poverty, rather than a means to truly help the wretched of the earth. It makes governments look good (at least to some people), while not requiring them to do anything really unpopular or detrimental to the needs and desires of the corporations from their countries. Consequently, until we devise a new and fairer aid policy that actually aims to help poor people rather than businesses, there is perhaps not too much to celebrate about finally hitting that tiny 0.7% target.

British corporations, British foreign aid, building schools, cash crops, controversial schemes, encourage rich countries, fairer aid policy, feeding local population, financial corporations, food exports for foreign markets, foreign aid, GDP, general population, generating profit, global economy, help poorer countries, improve lives of citizens, international community, local businesses, local capitalists, poorer governments, private apartment buildings, private developments, private hotels, private sector, private shopping centres, providing emergency medical supplies, restrict exports, Scandinavian countries, social benefits, strict requirements, structural inequalities, UN Development Programme, unambiguously profitable, vaccination campaigns, world market

Sunday, June 8, 2014

存在于美国空气中的等级特权

最近在美国开展的研究结果表明,白人呼吸的空气质量比黑人的更好。这样直截了当地写出来,听起来就像是一个玩笑,就和您将在《洋葱新闻》中可能看到的那类标题一样。但实际上,这是一个相当严重的现象——在美国,与大部分是黑人居民的地区相比,居住人口主要是白人的地区空气质量始终会更好。考虑到空气质量对我们日常生活以及预期寿命的影响,这一发现就有了诸多含义。


人们将这些发现描述成了种族问题,当然,在一定范围内,它们的确是种族问题。但同时,这也涉及到了我们生活中的另一个元素,而媒体通常不会喜欢涉及这个方面——那就是等级。只要调整重点,这些结果就可以很容易地以不同的方式呈现出来——到时,我们就可以说与富人相比,穷人更容易呼吸到糟糕的空气,而恰好贫穷的黑人比白人多而已。

下面,我们必须仔细探究黑人在美国的贫困统计结果中所占比例较高的原因,但是,在开始之前,我们也需要思考一下为什么与富人相比,任何人种的穷人都要忍受更差的空气质量。专心学术的地理学家比报刊作者更熟悉解释其中原因的概念——空间隔离。美国的富人几乎总是在空间上和穷人高度隔离。只要我们看看美国任意一个大城市的地图,就能认出富人和穷人的居住区——如果我们前往这些地区看一看,还能清楚地看到建筑环境和空气质量的差别。

穷人居住的地区征得的税收收入更少;也就不太可能提供公园和医院等有助于处理空气污染的服务和便利设施;在城市规划会议上,他们获得的关注更少,这意味着美国大部分主要的高速公路都会从城镇的贫困地区穿过;另外,由于较高水平的失业率和边缘化,他们又拼命地接受污染性产业提供的工作机会,而更为富裕的地区则可以也有能力拒绝这类产业——这也是为什么美国绝大多数的工厂、制造仓库和垃圾场都位于贫困地区的原因。

这类循环一旦开始就很难再停下来——糟糕的环境质量让房地产的价格下降,同时,城镇其他地区的价格却在上涨,这就迫使更多的穷人和失业人员前往贫穷的地区落脚。在这些穷人中,大部分都是黑人,这是加重这一现象的又一件让人愤概的事情。整件事似乎表明,美国的自由市场梦对赢家起了很大作用,但同时制造了太多的失败者和针对失败者的消极影响。

然而,现在的情况似乎在能有所改善之前,还将变得更糟。继20世纪的繁荣在一定程度上重置了美国的不平等水平之后,一段时间以来,这一水平又开始不断上升。如今,企业的力量和富人的利益又一次成为了美国的主宰,和19世纪的情况几乎一样。空间隔离及其引起的空气质量的问题不过是其中的一个症状——藉由这个症状,我们也应该警醒,意识到如果我们需要再次均衡美国赢家和失败者的关系,就必须尽快做出改变。


从英文版翻而来。原文于 520, http://anashell.blogspot.com/2014/05/in-us-class-privilege-is-in-air.html

空气质量, 洋葱新闻, 黑人居民, 白人的地区, 穷人居住的地区, Ana Shell, 美国的不平等水平之

Thursday, June 5, 2014

Membangun Etika Kerja pada Anak

Apakah orang tua dengan penghasilan 10.000 dolar per bulan perlu membangun kebiasaan bekerja keras pada anak-anak mereka?  Banyak orang tua membangun kebiasaan wajib bekerja dengan cara memaksa anak-anak mereka.  Meski ilmu pedagogi tidak mendukung, kebanyakan orang tua berupaya memaksa anak-anak mereka untuk bekerja  melalui intimidasi secara emosional.  Beberapa orang tua memiliki keyakinan pada cara yang tidak mempunyai dasar ilmu pengetahuan sama sekali tentang nilai evolusi kerja; idenya bahwa dengan bekerja telah membantu kera berubah menjadi manusia, orang-orang prasejarah mengajari anak-anak mereka bekerja sejak dini.
Keyakinan tanpa dasar ilmiah tentang motivasi untuk bekerja menciptakan adalah propaganda ciptaan pemerintah dan keyakinan itu tidak benar.   Motivasi sesungguhnya untuk bekerja (misalnya berburu) tidak berasal dari keinginan untuk terlihat baik di mata kenalan Anda, namun lebih karena naluri bertahan hidup.  Manusia yang lapar akan memburu antelop dan memancing ikan untuk memberi makan diri mereka sendiri dan keluarga mereka.
Keluarga-keluarga zaman purba hidup bersama dalam rumah tangga yang besar.  Orang tua zaman purba tidak pernah berpikir untuk membangun etika kerja dalam diri anak-anak mereka mengingat anak-anak ini lapar setiap hari.  Sejak dini, anak-anak ini melihat sendiri ibu, ayah, dan kakek nenek mereka berupaya keras untuk bertahan hidup.  Hal ini dengan sendirinya mencetak pola kebiasaan dalam diri anak-anak.  Mereka tidak hanya melihat ayah mereka pergi berburu namun juga melihat sang ayah kembali dengan atau tanpa hasil buruan.
Sering kali rumah dan ruang kerja tidak dipisahkan oleh pembatas dan anak bisa langsung berada di bengkel kerja hanya dengan turun ke bawah dari ruang keluarga di lantai atas.  Pekerjaan yang dilakukan dari rumah adalah fondasi bagi keluarga pekerja. Saat bertumbuh dewasa, sang anak mulai membantu keluarga dengan sendirinya.  Seorang wanita yang menikah dan tinggal dengan keluarga suaminya akan melakukan tugas-tugas yang sama yang biasa dilakukannya di rumahnya sendiri dengan ibunya. Proses mengembangkan kebiasaan bekerja dalam diri anak-anak selalu berkaitan dengan kesulitan sehari-hari dalam kehidupan keluarga.
Dalam masyarakat modern, motivasi untuk makan telah ditinggalkan dan digantikan dengan kebutuhan masyarakat, serta pekerjaan keluarga pun telah menghilang. Kapitalisme dan pemerintah telah mengambil anak-anak yang cerdas dari keluarga mereka untuk mengisi jabatan-jabatan penting pada perusahaan dan anak-anak yang biasa-biasa sajadiberikan pekerjaan yang tidak terlalu penting.  Itulah sebabnya anak-anak modern tidak dapat mengamati pengalaman orang tua mereka dan anggota keluarga yang lain.
Pagi hari, anak-anak dan orang tua bergegas menuju tempat kerja mereka dan hanya memiliki kesempatan untuk bertemu sebagai keluarga saat makan malam. Anak-anak bergantung pada media dan model perilaku yang diciptakan oleh perusahaan sebagai pedoman hidup.  Itulah sebabnya media massa memainkan peranan yang amat penting dalam membodohi massa dan menciptakan motivasi perilaku bagi anak-anak modern.  Perusahaan telah mengambil waktu dan ruang vital dalam keluarga modern. Dalam setahun, sebuah keluarga modern hanya memiliki sepuluh hari untuk dihabiskan bersama, dan waktu ini dihabiskan untuk berwisata daripada untuk usaha keluarga.
Mari kita menengok pada keluarga tradisional Cina dan rumah/ruang kerja mereka sebagai contoh paling bagus untuk menghubungkan antara pekerjaan keluarga dan bisnis.  Sebuah keluarga besar yang terdiri dari sepuluh anggota keluarga atau lebih tinggal di rumah toko bertingkat dua hingga tiga yang sempit. Toko atau ruang kerja biasanya berada di lantai dasar.  Banyaknya kompetisi di dalam keluarga memaksa anak-anak untuk bekerja lebih dari delapan jam per hari.  Namun, pekerjaan yang dilakukan bukanlah untuk seorang majikan, melainkan bagian dari kehidupan tradisional keluarga yang termasuk bekerja, dan pekerjaan tidak dilihat begitu saja.   Kebebasan kehidupan keluarga inti mencegah majikan (pemberi kerja) mendapatkan penghasilan tambahan dari masing-masing anggota keluarga, dan akibatnya keluarga seperti ini diserang.
Keluarga tradisional seperti ini kerap diperbudak oleh negara, yang ingin menerima pemasukan dari setiap keluarga untuk kas negara atau menjalankan keinginan pemberi kerja global.  Negara menindas keluarga-keluarga semacam ini dalam banyak hal, termasuk menaikkan sewa rumah sehingga negara dapat terus mempertahankan monopoli dalam jenis bisnis tertentu.  Keluarga pekerja seperti ini sesungguhnya mampu menghidupi diri sendiri atau melakukan barter dengan biaya sepuluh kali lipat lebih murah (dari usaha kantin milik keluarga) dibandingkan dengan yang pemerintah dapat sediakan.
Kini di Singapura, rumah yang dijadikan tempat usaha hampir tidak ada lagi.  Rumah yang dijadikan tempat usaha (ruko) masih tersebar di RRT, Vietnam, dan banyak negara lain. Jika Anda menanyakan keluarga-keluarga di sana tentang caranya membangun kebiasaan bekerja pada anak-anak mereka, reaksi yang Anda dapatkan adalah tatapan keheranan, karena anak-anak mereka hidup dalam keadaan bahagia dan bukan sebagai tenaga kerja paksa.
Kita sering melihat anak-anak dari keluraga dengan penghasilan di atas 10.000 dolar per bulan menjadi parasit sosial.  Hal ini terjadi karena pembagian tenaga kerja modern memungkinkan untuk mempekerjakan pembantu rumah tangga lebih dari satu, yang pekerjaannya membebaskan anak-anak dari beban kebutuhan. Dalam keluarga seperti ini rasa lapar tidak lagi menjadi kekhawatiran. Kebutuhan yang tersisa adalah kebutuhan akan hiburan yang dipuaskan lewat melancong, mobil, pakaian, dsb. Dari sudut pandang sosial yang lebih luas, orang seperti ini adalah parasit yang sulit menemukan tempat mereka dalam masyarakat.  Sering kali, anak-anak seperti ini tidak dapat menemukan pekerjaan yang pantasuntuk diri sendiri sehingga orang tua mereka harus ikut campur agar mereka mendapat pekerjaan.
Kesimpulannya, anak-anak tidak dapat diajar etika kerja tanpa ada rasa membutuhkan.  Orang tua harus menciptakan kebutuhan seperti ini dalam diri anak-anak mereka meski keluarga mereka memiliki kekayaan yang menjamin masa depan.  Hal ini dapat dicapai orang tua dengan melibatkan anak-anak mereka dalam usaha keluarga.

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 9.05.2014: http://anashell.com/anashell/2014/05/09/developing-work-ethic-children/'
[ kebiasaan bekerja keras, intimidasi secara emosional, dasar ilmiah, propaganda ciptaan pemerintah, kehidupan keluarga, masyarakat modern, Ana Shell, Membangun Etika Kerja pada Anak ]

Tuesday, June 3, 2014

Bank Makanan

Surat kabar di Inggris terkenal akan laporan berita mereka yang berpihak kepada politik. Hal ini membuat surat kabar Inggris menjadi sumber yang tidak dapat diandalkan jika kita berupaya memperoleh informasi yang objektif dan fakta tentang kejadian-kejadian di salah satu dari negara terkaya di dunia itu; sebaliknya, ini juga berarti bahwa surat kabar Inggris dapat menjadi barometer budaya yang menggambarkan perasaan dari penduduk khususnya dewasa ini saat publik dapat menanggapi dengan mudah hal-hal yang mereka baca melalui sosial media seperti Twitter.



Salah satu contohnya berasal dari artikel yang diterbitkan akhir pekan ini pada surat kabar Mail on Sunday. Surat kabar ini adalah rekanan dari Daily Mail, yang terkenal pro sayap kanan dan sering menerbitkan berita-berita kosong, yang secara mengejutkan telah menjadi situs surat kabar paling populer di internet melalui tulisan-tulisan mereka akan politik ektrim, cerita-cerita mengejutkan, serta foto-foto paparazzi tentang para selebritas. Surat kabar Mail on Sunday mengirimkan reporter penyidik ke beberapa bank makanan Inggris, kegiatan amal yang memberikan makan secara cuma-cuma kepada orang-orang yang tidak punya pekerjaan, tereksploitasi, dan tertindas yang saat ini jatuh miskin akibat resesi berkepanjangan yang menimpa banyak negara di Eropa.

Para reporter ini datang ke bank makanan dan mengaku tidak mempunyai pekerjaan dan berbohong tentang situasi mereka sehingga tampak kelaparan dan putus asa. Bank makanan melakukan pengecekan identitas terlebih dahulu kemudian memberikan bingkisan makanan. Menurut Mail on Sunday ini adalah penghinaan yang menyedihkan dan menyatakan bahwa laporan tentang adanya satu juta orang Inggris yang harus pergi ke bank makanan tahun lalu adalah salah. Mereka mengklaim bahwa orang-orang yang pergi ke bank makanan hanyalah  orang-orang yang mencari makanan gratis, seperti halnya para reporter yang menyamar itu.

Tanggapan yang muncul di Twitter dan sosial media lainnya penuh dengan reaksi kemarahan. Orang-orang menyebutkan bahwa jika orang-orang dari Mail on Sunday mau berbohong demi makanan bukan berarti semua orang akan melakukan hal yang sama. Lebih jauh, orang-orang menyatakan bahwa meskipun klaim dari Mail on Sunday benar, hal itu tidak masalah.Bahkan jika 20% dari penerima makanan bank makanan tidak benar-benar memerlukannya, hal itu berarti masih ada setidaknya 800.000 orang yang benar-benar kelaparan dan membutuhkan bantuan. Kebanyakan dari jumlah ini adalah anak-anak.  Meskipun angka ini kurang dari angka satu juta, angka yang sering digunakan, seharusnya tetap membuat malu negara yang disebut sebagai salah satu yang terkaya di dunia.

Inggris masih terus menjadi salah satu negara dengan angka GDP tertinggi di dunia, pemilik kota mahal London, pebisnis kelas elit, bankir, dan politikus dengan pendapatan tinggi bahkan saat orang-orang biasa mengalami kesulitan secara ekonomi. Para orang kaya ini telah menganjurkan berkembangnya ideologi yang memandang orang yang memerlukan bantuan sebagai orang yang tidak layak menerima bantuan karena mereka tidak mau mencoba, bekerja keras, atau hanya ingin memperoleh bantuan cuma-cuma. Padahal fakta memperlihatkan bahwa gaji kebanyakan orang tidak meningkat, pekerjaan tidak tersedia, dan para mahasiswa yang baru lulus harus menanggung beban tambahan utang. ‘Pemenang mengambil semuanya’ adalah ideologi kapitalis yang menganjurkan orang miskin untuk saling menginjak agar dapat menang.

Ideologi inilah yang dianjurkan oleh Mail on Sunday dalam artikel bank makanan mereka. Untunglah, publik tidak setuju. Timbulnya kebutuhan akan bank makanan adalah problem sesungguhnya, bukan dari jumlah orang yang menggunakannya. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin banyak orang mulai sadar dan menyadari kesalahan dari ideologi ini. Kita berharap bahwa ini adalah awal dari bangkitnya kesadaran publik dan dimulainya perlawanan terhadap elit politik yang telah lama membuat orang-orang yang mereka buat miskin menjadi kambing hitam.


Diterjemahkan dari Bahasa Inggris, artikel asli di publikasikan tanggal di 30.04.2014:  http://anashell.blogspot.com/2014_04_01_archive.html

[ surat kabar Inggris, sosial media, Mail on Sunday, Daily Mail, bank makanan Inggris, GDP, kesulitan secara ekonomi ]

Monday, June 2, 2014

Time to change our oil culture

The latest figures coming out of the US suggest that the previous exultation of shale gas may have been severely premature. Shale has been promoted as the answer to the question of US energy independence, with claims that there would be up to 17bn barrels of fuel underneath California alone – enough to keep business-as-usual going on for a very long time, and enough to totally destroy any chance we might have of avoiding catastrophic climate change. There was also the small matter that extracting the shale gas requires the incredibly destructive technique known as fracking, which damages land and water supplies.
However, these new figures suggest that those numbers may have to be cut – by 96%. Yes, the actual amount of shale gas underneath California is likely to be a mere fraction of what was previously being imagined by oil industry executives and climate change denialists. This shows the optimism that often surrounds new fossil fuel discoveries, from the tar sands, to the arctic oil, to the California shale gas deposits. Every time, we hear from people who believe we have solved the problem of peak oil, and every time it eventually turns out that we have merely discovered a way to delay it for a few years while further trashing our environment.
Of course, fracking was never a good idea even before this re-evaluation of the shale reserves. The film Gaslandfamously showed how the contamination caused by fracking for shale could pollute water so badly that you could set it on fire. Fracking has also been accused of responsibility for earthquakes in the area around Blackpool in the northwest of England, and there is an increasingly popular and vociferous campaign against this destructive technique taking place across the UK right now -as we have previously discussed on this blog. You would think that the combination of these facts, along with the new discovery that there is actually not that much shale gas to extract anyway, would put an end to fracking – but it will almost certainly go ahead anyway because our culture seems to be hardwired to choose fossil fuel options ahead of cleaner alternatives.
We need to start addressing this cultural problem urgently. Why do we immediately defer to fossil fuels whenever they become available to us? Why do we seem to have such difficulty accepting that infinite energy sources exist all around us, in the wind, the sun, and the water that keep us alive? There is perhaps a view that alternative technologies are not ‘macho’ enough – a ridiculous proposition of course, but one which seems to have a strange power over decision makers. Or perhaps it is simply a case of the entrenched interests of the oil and gas industry that don’t want us to move on the next technology – even though that is what humankind has done throughout its history.
Whatever the reason, these new figures on shale should be part of the culture-wide jolt that we need to start moving away from fossil fuels. We need to finally understand – truly understand – that there simply isn’t enough oil and gas left in the planet for us to keep up this lifestyle indefinitely. That means we either need to change our lifestyle from the current focus on consumption and comfort, which seems unlikely to happen, or we need to start seriously exploring alternative energy sources rather than wasting our time and money on shale gas and other damaging schemes. This will mean cooperation between nations, it will mean convincing people that fossil fuels are not special, and it will mean making brave policy decision. But it can be done – in fact, it needs to be done, if our other option is the tiny amount of shale that lies in a few rocks under America.

arctic oil, Blackpool, California shale gas deposits, catastrophic climate change, climate change denialists, damage land and water supplies, destructive technique, exultation of shale gas, film Gasland famously, fossil fuel discoveries, fossil fuel options, fracking, fracking for shale, fuel underneath California, infinite energy sources, northwest of England, oil and gas industry, oil culture, oil industry, oil industry executives, peak oil, policy decision, pollute water, responsibility for earthquakes, shale gas, shale reserves, tar sands, trash environment, US energy independence